Minggu, 10 Mei 2009

Nilem-Diolah Naik Derajat
Oleh wibowotrubus 


Pernah mencicipi baby fish goreng di rumah makan sunda? Camilan ikan berasa gurih itu bahan utamanya nilem berukuran 5-7 cm. Di sentra nilem di Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya, harga Osteochillus hasselti itu kini meroket mencapai Rp18.000/kg.

Sampai akhir 2006 di tingkat peternak harga jual nilem ajek pada kisaran Rp6.000-Rp8.500/kg. Maklum tataniaga nilem masih di seputar Kabupaten Tasikmalaya. Namun, setelah pasar lebih luas hingga ke berbagai kota, perlahan tapi pasti harga osteochillus terdongkrak. Wartawan Trubus Lani Marliani bertandang pada awal Februari 2008 menjumpai peternak di Desa Mekarjaya-sentra utama nilem-di Singaparna yang mencecap untung dari nilem. 

Adalah Asep Dudung peternak yang mengusahakan nilem di 3 kolam berukuran 70 m x 30 m dan meraup omzet Rp4,2-juta/3 bulan. Sebelumnya, pada 2006, hanya sekitar Rp1-juta/3 bulan, karena harga masih rendah. 'Saat ini kalau ada barang pasti cepat laku terjual,' ujar ketua Kelompok Tani Ikan Karya Muda itu yang rutin memasok pengepul di Bandung, Banyumas, Jakarta, dan Yogyakarta.

Di kolam-kolam itu Asep menebar 50.000 bibit. Dengan tingkat kelulusan hidup sekitar 70%, setelah 3 bulan dipelihara dipanen 1 kuintal ikan ukuran 5-7 cm. Bila dijual segar Rp18.000/kg Asep meraup penghasilan Rp1,8-juta. Dipotong ongkos produksi 1.000/kg, ditangguk laba bersih Rp1,4-juta. 

Namun, untuk mendongkrak omzet Asep menyisihkan 10% dari total panen itu untuk dipelihara lagi sampai umur 7-10 bulan guna dibuat dendeng dan pindang. 'Dendeng bisa dijual Rp7.500 isi 10 ekor dan pindang Rp2.500/ekor,' katanya. Nilem untuk dipindang berbobot 1-2 ons/ekor.
Olahan 

Data di Tasikmalaya menunjukkan produksi nilem pada 2006 mencapai 1.201,87 ton. Jumlah itu masih di bawah ikan nila dan mas yang mencapai 1.623,04 ton dan 1.386,93 ton. Namun dibandingkan gurami, ikan konsumsi unggulan lain, produksi nilem masih lebih baik. Produksi gurami pada tahun yang sama hanya 638,16 ton.

Nilem yang sudah diuji Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan RI itu mengandung 38,83% protein dan 0,98% kalsium. Harganya kian membumbung hingga lebih dari 200% setelah muncul inovasi produk olahan nilem. 'Nilem bisa dibuat dendeng dan pindang sejak awal 2007,' ungkap Asep. Selama ini osteochillus hanya dikonsumsi dengan cara digoreng. Untuk olahan, daya serap dari industri rumah tangga mencapai lebih dari 200 ton/bulan.

Dendeng dibuat dengan cara mengeringkan ikan yang dibelah dan dilumuri bumbu seperti bawang putih, bawang merah, dan kunyit. Tahap akhir sebelum dijual, dendeng setengah jadi itu digoreng. Untuk pindang, ikan tidak dibelah, melainkan langsung diberi bumbu lalu direbus. Semua olahan itu dijual dalam kemasan plastik dengan harga bervariasi. Untuk 4 pak dendeng isi sekitar 40 ikan dijual Rp30.000. 'Banyak peminat dari luar kota yang suka,' tutur Asep.

Meski harga menggiurkan, tapi peternak nilem masih terbatas. Di Desa Mekarjaya tercatat hanya 20 pembudidaya nilem. Mereka rata-rata mengusahakan di luasan kolam antara 0,25-7 ha. 'Sebelumnya lebih dari 50 peternak, tapi sebagian besar mundur karena kesulitan air,' kata Asep.

Air faktor utama dalam budidaya nilem. Ia memang tidak mensyaratkan kualitas air bagus seperti budidaya gurami atau patin, tapi tetap butuh oksigen terlarut yang cukup. Artinya di kolam perlu ada pancuran air. Nah, sumber air dari sungai setempat tidak memungkinkan lagi setelah banyak daerah resapan berubah fungsi menjadi perumahan. 'Debit air sungai jadi sangat kecil sehingga harus berebut,' ujar Asep.
Organik 

Sejatinya budidaya nilem sangat mudah. Menurut Drs Jojo Subagja, MSi, peneliti di Balai Riset Budidaya Perikanan Air Tawar, Bogor, anggota famili Cyprinidae itu pemakan ganggang. Sebuah riset dari IPB menggambarkan seekor nilem berbobot 5 g dapat menghabiskan 6,4 kg ganggang. 'Ikan ini tidak perlu pelet sehingga bisa disebut ikan organik,' ujar Jojo. Di kolam milik Asep pakan yang diberikan pun hanya sisa-sisa dedaunan.

Menurut Ir Endang MM, peneliti di Balai Pengembangan Benih Ikan di Singaparna, Tasikmalaya, ketersediaan bibit sejauh ini masih mencukupi. 'Seekor betina berbobot 4 kg bisa menghasilkan 14.000 telur,' katanya. Nah, yang menjadi kendala adalah tingkat kelulusan telur jadi burayak yang masih di bawah 80%. 'Salah satu penyebab, karena tidak ada seleksi induk berkualitas sehingga berpengaruh terhadap pembuahan,' tambahnya.

Peternak tidak peduli terhadap tingkat kelulusan hidup lantaran stok bibit tidak kekurangan. Namun, jika nilem sudah dibudidayakan masal, itu akan berpengaruh pada tingkat harga beli bibit. Artinya, keuntungan berkurang. 

Beruntung beberapa peternak sudah menerapkan kawin suntik dengan menggunakan hormon ovaprim sehingga kelulusan hidup burayak meningkat. 'Dengan penyuntikan dosis 0,5 ml/kg bobot, kelulusan hidup naik lebih dari 95%,' kata Jojo. Bila kendala sudah teratasi dan produk olahan nilem semakin digemari masyarakat, peternak nilem bakal berbahagia. (A. Arie Raharjo/Peliput: Lani Marliani)

© 2007 Trubus